Penulis: Syahri Maghfirohtika
Editor: Triana Rahmawati
Kekerasan terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) bukanlah semata-mata bentuk penyimpangan individu, melainkan gejala dari kegagalan struktural dan sosial yang lebih dalam. Kasus pemerkosaan terhadap perempuan ODGJ di Selayar pada Juni 2025 merupakan manifestasi nyata dari lemahnya perlindungan hukum dan sosial terhadap kelompok rentan. Dalam masyarakat yang masih menempatkan ODGJ sebagai “yang lain”, mereka menjadi target empuk kekerasan seksual, fisik, hingga perlakuan tidak manusiawi seperti pasung dan isolasi. Perempuan ODGJ yang menjadi korban dalam kasus tersebut bukan hanya mengalami kekerasan tubuh, tapi juga kekerasan simbolik yakni penghapusan identitas dan haknya sebagai manusia.
Dari sudut pandang sosiologis, relasi kuasa yang timpang antara masyarakat umum dan ODGJ dilanggengkan oleh stigma. Stigma bukan hanya label negatif, melainkan perangkat sosial yang menciptakan eksklusi. Ketika seseorang dilabeli “gila”, masyarakat merasa bebas mengontrol, membatasi, bahkan melukai tubuhnya, karena mereka tak lagi dipandang sebagai subjek hukum atau moral. Kasus Selayar mencerminkan bagaimana tubuh ODGJ diposisikan sebagai objek yang bisa diakses tanpa konsekuensi moral kecuali jika kasus itu “tertangkap tangan” dan mendapat sorotan media. Di balik itu, banyak kasus serupa yang mungkin tenggelam karena korban tidak memiliki kuasa untuk bersuara.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap ODGJ tidak cukup berhenti pada aspek medis atau hukum, melainkan menuntut perubahan paradigma sosial yang lebih inklusif. ODGJ adalah manusia yang hidup dalam kerangka sosial yang menindas dan membuat mereka semakin rentan. Negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab moral dan struktural untuk menghapus pasung, mencegah kekerasan seksual, serta membangun sistem pemulihan berbasis komunitas yang manusiawi. Kasus Selayar harus menjadi titik balik bukan hanya dalam penegakan hukum, tetapi juga dalam membongkar cara kita memandang kesehatan jiwa: bukan sebagai aib atau ancaman, melainkan sebagai kondisi yang bisa ditangani dengan empati, pengetahuan, dan keberpihakan.
Referensi:
Alhajami, A. (2023). Perilaku Kekerasan dan Ketakutan di Antara Orang dengan Gangguan Jiwa. Jurnal Perspektif, 2(4), 292–296. https://doi.org/10.53947/perspekt.v2i4.489
Human Rights Watch. (2016). Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia. https://time.com/4265623/indonesia-mental-illness-chains-pasung-hrw/
Polres Selayar Tangkap Tangan Pria 59 Tahun Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap ODGJ. (2025, June 18). Selayar News. https://selayarnews.com/18/06/2025/polres-selayar-tangkap-tangan-pria-59-tahun-pelaku-kekerasan-seksual-terhadap-odgj/
Subu, M. A., Holmes, D., & Elliott, J. (2016). Stigma dan Kekerasan terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ): Studi di Indonesia. Jurnal Keperawatan Indonesia, 19(3), 191–199. https://doi.org/10.7454/jki.v19i3.481
Goffman, E. (1963). Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.